Pages

Kamis, 02 Januari 2014

Tahun Baru = Hura-Hura


        Tahun Baru (Inggris : New Year, Jerman : Neujahr) adalah hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat di seluruh dunia. Malam 31 Desember – 1 Januari menjadi momen yang tak terlupakan bagi semua civitas dunia. Penduduk dari Amerika sampai Asia, penuh antusias merayakan pergantian tahun, dari tahun sebelumnya ke tahun yang akan datang. Tidak hanya penduduk negara-negara lain saja yang merayakan, Nusantara juga merayakan tahun baru.
            Pada saat tersebut, penduduk Indonesia sibuk dengan hiruk-pikuk. Pasar bahkan penuh dan riuh dengan orang. Membeli jagung dan ikan untuk dibakar, kembang api meletup-letup di udara, konser musik di ibukota, suara terompet membahana, dan berbagai kegiatan lainnya. Semua penduduk larut dalam sukacita perayaan tahun baru, baik bersama keluarga ataupun teman.
            Akan tetapi tidakkah kita memperhatikan dibalik semua keceriaan dalam tahun baru ada sesuatu yang luput. Bagaimana dengan nasib orang-orang yang secara ekonomi melarat, dibawah garis kemiskinan. Mungkin beberapa orang mengatakan, dengan adanya tahun baru bisa menimbulkan banyak usaha-usaha seperti berjual terompet atau mercon. Akan tetapi, hal-hal tersebut hanya bersifat musiman saja, tidak berkelanjutan untuk menopang kehidupan mereka.
            Masyarakat dengan tenang mengatakan bahwa “Cuma sekali setahun”. Tidakkah mereka sadari bahwa mereka telah membakar, membuang, memusnahkan uang dengan sekejap saja dengan membeli petasan atau mercon. Tidakkah ini merupakan tindakan sia-sia dari masyarakat. Dengan tahun baru itu sendiri menciptakan budaya konsumerisme, sementara hal tersebut bertentangan dengan adat kebiasaan bangsa Indonesia.
            Jika jumlah uang yang dikumpulkan untuk membeli mercon dikumpulkan dari seluruh masyarakat, hal tersebut akan menjadi tumpukan uang dengan jumlah yang sangat banyak. Akan lebih baik jika uang yang digunakan untuk membeli mercon digunakan untuk sumbangan sosial atau hal-hal semacamnya, atau jika tidak mau, disimpan atau ditabung saja. Bukankah itu menjadi hal yang lebih baik daripada pemborosan.

            Mungkin apa yang dilakukan Aceh –tidak merayakan tahun baru- merupakan sesuatu hal yang sangat ekstrim bagi semua warga Indonesia, yang rata-rata adalah Islam moderat. Tapi setidaknya dengan merayakan secara sederhana dan penuh makna, seperti berdoa bersama dan kegiatan amal sosial sudah sangat cukup. Pertanyaan ini patut kita renungkan, lupakah kita akan empati dan rasio?

Minggu, 18 Agustus 2013

Refleksi : Merdeka?

Merdeka, Merdeka, Merdeka!

            Kita telah melewati satu hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia, yaitu HUT Kemerdekaan ke-68. Animo bangsa dalam menyambut hari bersejarah ini seperti biasanya penuh antusiasme. Bangsa Indonesia mulai tanggal tersebut, 17 Agustus 1945 harus berdiri pada kakinya sendiri untuk menentukan nasibnya sendiri. Bangsa Indonesia secara hitam di atas putih telah menyambut fase baru untuk menyongsong masa depannya.
            Enam puluh delapan tahun “merdeka” mungkin merupakan waktu yang sangat singkat menurut pandangan negara-negara adikuasa. Akan tetapi, dalam ruang waktu tersebut bangsa Indonesia bisa dikatakan dalam proses mencari makna kemerdekaan yang hakiki, bahkan sampai hari ini.  Ujung pencarian makna tersebut belum bisa diprediksi sampai mana akan berakhir.
            Perjalanan menuju “merdeka” tidaklah semulus kita mendengar kata tersebut. Kemerdekaan dalam mengatur sendiri pemerintahan dan kedaulatannya secara absolut diraih. Akan tetapi, kemerdekaan dalam mengeluarkan pikiran sempat mencicipi “penjara”nya. Sangat mencolok pada zaman Orde Baru, dimana setiap media yang akan mencetak atau menyiarkan segala informasi harus melewati SIUPP. Apabila ada kandungan yang berisi kritik dan berita miring tentang rezim pada masa itu harus dibreidel, bahkan media atau orang yang bersangkutan akan dipenjara. Tidak hanya pada media, menyuarakan pendapat yang oposisi terhadap pemerintah bahkan ditahan.
            Orde Baru runtuh karena mahasiswa dan rakyat bertindak menjatuhkan rezim yang dianggap mengekang. Vox populi, vox dei. Sementara Reformasi bergulir, krisis moneter dan balkanisasi menjadi penyakit yang harus diobati oleh Presiden Habibie. Walau demikian, kebebasan pers mulai dibuka. Orang- orang mulai bersuara tentang aspirasi mereka. Kenyataannya setelah merdeka dalam pemerintahan dan –baru-baru saja– menyuarakan pendapat, diterpa lagi dengan kejatuhan finansial dan regional. Beruntung, Indonesia di tangan Habibie disulap menjadi negara yang lumayan stabil, dengan kurs yang kuat, sekitar Rp 6,500 per 1 US Dollar. Konsekwensinya, kita kehilangan Timor-Timor yang dahulu merupakan bagian dari Nusantara.
            Setelah melewati tersebut, kita juga masih belum bisa dikatakan merdeka. Ekonomi dan sumber daya alam kita dikuasai oleh tangan-tangan asing. Neo-kolonialisme gaya baru diterapkan di bumi pertiwi. Cengkraman Freeport atas Tanah Papua begitu kuat, ditambah perusahaan multinasional seperti Total E&P, Exxon Mobile, dan Royal Shell atas minyak bumi dan gas kita sangat menancap keras. Produk-produk dari Cina membanjiri pangsa pasar karena harga yang sedemikan murahnya dibanding harga yang dihasilkan oleh produsen dalam negeri.
            Gaya hidup kita juga belum “merdeka”. Selalu menganggap diri kita sebagai bangsa yang besar, karena merdeka dengan usaha sendiri. Kenyataan tersebut tidak dibarengi dengan kecintaan produk dalam negeri. Ketimbang menggunakan produk lokal, masyarakat Indonesia umumnya lebih bangga menggunakan produk asing, baik itu fashion maupun otomotif. Perasaan inferior membuat bangsa kita lebih “terjajah” secara psikologis.
            Kemerdekaan? Era kita juga menghadapi “kemerdekaan” koruptor. Banyak sekali kasus suap dan penggelapan yang melibatkan petinggi-petinggi negara. Kasus suap Hakim Agung Achmad Yamanie di Mahkamah Agung, rekening gendut Susnoduadji, dan aliran dana gelap di BJB, dan setumpuk kasus lainnya menjadi “pekerjaan rumah: bagi aparat pemerintahan yang berlaku.
            Penyiksaan TKI di Negeri Jiran, baru-baru ini gencar di media. Seorang TKI asal NTT kabur dari rumah majikannya karena menerima siksaan bertubi-tubi di seluruh badannya. Kasus ini hanyalah satu dari ratusan kasus lainnya yang terselebung maupun tertangkap oleh media. Merdeka kah itu?
            Pada hakikatnya, jalan menuju kemerdekaan hakiki masih panjang. Sebab, kesucian jiwa tiap individu mengawali langkah-langkah panjang kita. Butuh perjuangan yang ikhlas dan contoh yang benar dan tulus dari pemerintah untuk rakyat. Selangkah demi selangkah, setahap demi setahap dengan berkelanjutan.


Les petits ruisseaux font les grandes rivières

Sabtu, 11 Desember 2010

Fatamorgana Fanatisme

oleh Muhammad Rasyid Ridho pada 10 Desember 2010 jam 17:45


Seorang hamba Tuhan berdiri di tepi jurang kesendirian.Bersahut!

Tuhan, bumi ini berdarah!

Tuhan, bumi ini hancur!

Tuhan, bumi ini terbelah!

Tuhan, bumi in penuh potongan kepala!

Fanatisme bertindak.

Tuhan, kau ekskomunikasikan seseorang.

Tuhan, kau kurung seseorang.

Tuhan, kau buat minoritas.

Tuhan, kau buat sengsara.

Tuhan, kau beri manusia akal.

Fanatisme, kau bertindak

Menghancurkan.

Akal pun lebur.

Tindakan menjadi kacau.

Tiada pemikiran yang dalam.

Wahai, fanatisme.

Apakah engkau ini?

Apakah berupa kekerasan hati?

Apakah berupa pembunuhan ide?

Apakah berupa teriakan dari segala paksaan?

Apakah berupa ketololan yang mengkotak-kotakan umat manusia?

Apakah....

Sudah, cukup!

Terlalu banyak ketukan pertanyaan untukmu, Fanatisme.

Tuhan, mengapa Engkau ciptakan manusia secara berbeda-beda?

Tuhan, mengapa harus berbeda?

Tuhan, bukankah dengan kesamaan mengalirkan keteraturan?

Tuhan, pasti teratur tanpa menghadapi masalah.

Wah, terlalu banyak pertanyaan untuk-Mu, Tuhan.

Apakah pertanyaan hamba-Mu ini tolol?

Tidak patut dijawab.

Tertiup angin ambiguitas...

Tuhan, aku terjebak dalam paradoks!

Sabda Tuhan...

Fanatisme adalah neraka.

Fanatisme adalah ego.

Fanatisme adalah kerikil kehidupan

Jauhi, wahai umat-Ku

Sedangkan perbedaan..

Perbedaan adalah rahmat dari Tuhanmu!

Perbedaan adalah kasih sayang dari Tuhanmu!

Perbedaan adalah hal yang saling melengkapi.

Perbedaan adalah peringatan dari Tuhanmu.

Perbedaan mengingatkanmu untuk sadar akan kefanatismean yang nisbi

Perbedaan bukan bencana yang menyayat sebuah persatuan.

Ketika perbedaan-perbedaan saling mendengar dan analisis dalam,,

Muncullah Persatuan yang hakiki!

Tuhan, hamba tak mengerti dibalik kebijaksanaanmu...

Tapi, sebentar lagi.

Tinggalkan jembatan itu.

Ke jembatan lainnya yang berbeda..

Lagi-lagi berbeda, manatah yang risau dengan kata berbeda?

Syawwal,, Antara Kesyahduan dan Sentimen...

oleh Muhammad Rasyid Ridho pada 10 September 2010 jam 10:10


Semua bermula pada tanggal 1 Ramadhan,,

Kita sebagai umat Muhammad menjalankan suatu pengekangan.

Shalawat dan salam untukmu, ya Rasulullah selalu tercurahkan.

Mengekang nafsu dan kemauan.

Hari-demi hari berjalan,,

Semakin dipenuhi dengan ujian.

Menghadap Ilahku dimalam nan khidmat.

Dihantar pembacaan Qur'an yang agung...

Dimalam terakhir yang ganjil,,

Selagi melakukan shalat nawafil.

Merenungi diri ini yang kecil,,

Begitu banyak rizki yang kau berikan pada hamba-Mu yang hina dina ini.

Sembari membaca ayat-Mu yang Suci,,

"Ni'mat Tuhan Manakah yang Kamu Dustakan!"

Fajar Engkau singsingkan ya Rabb,,

Gema takbir bersahut-sahutan di seluruh penjuru,,

Airmata terkadang menetes sembari bersalaman,,

Hati mengucap syukur kepada Ilahi Rabbi

Ya Allah,, kau sucikan kami dari dosa-dosa di hari ini,,

Semoga kami menjadi hamba-Mu yang selalu bersyukur,,

Tapi,,

Sesuatu telah mengiris hati..

Makar akan Kitab-Mu yang Teramat Suci dan Mulia semakin menjadi...

Akankah Kitab-Mu musnah menjadi Abu di tanggal 2 Syawwal 1431 H/11 September 2010 M?

Hati saudara seiman manakah yang tak miris akan hal ini ?

Na'udzubillahi min dzallik.

Ya Rabb,, hamba-Mu ini hanya bisa berdoa :

Celuplah sebagian dari mereka dengan Sibghat-Mu yang kudus,, serta sampaikan salam Khairatul Ummat padanya"

Perkenankan permohonan kami,, wahai Yang Memiliki Nama-Nama yang Indah dan Agung..."

Cordoba

by Muhammad Rasyid Ridho on Thursday, September 16, 2010 at 10:48pm


Di Cordoba kita bersantai

Menikmati hembusan udara yang sejuk

Bersua bercanda ria

Tawa melepas sendu

Di Cordoba kita menikmati

Kuliner Al-Masyriq

Penuh dengan rempah

Rempah kehangatan yang deras

Di Cordoba kita berjalan

Di sebuah jalan

Jalan para serdadu memanggul pedang

Tanpa baju zirah

Serta kuda-kuda yang menapak

dengan gagah berani

Di Cordoba kita masuk

Ke sebuah bangunan

Megah di masa lalu

Suram di masa sesudahnya

Tempat para pencari-Nya merenung

Di Cordoba kita menyusuri

Puing-puing istana cahaya

Terbakar zaman rupanya

Hanya puing !

Hamba Yang Maha Pengasih meninggalkannya

Tanpa penerus yang bijak.

BIlamanakah akan terulang ?

Hari-hari itu

Pengorbanan

O Cordoba, kita berharap kau kembali

Rabu, 19 Mei 2010

Keluh Kesah Seorang Anak Manusia

Bermula dikala mentari bangkit dengan semangatnya,
Saat itu juga aku bagai tersayat sembilu,
Lagi - lagi kepakan dan kaokan burung agak itu lagi!
Membuat semua yang terkumpul menjadi berterbangan.

Kerbau - kerbau itu melakukan kembali tugasnya, melepas semua tanggung jawab!
Bagai badai datangnya!
Benci,
luka,
serta nafas yang menyesakkan,
berpadu dalam amarah yang membara!

Entah, terpadam karbit rupanya.
Tak membakar, hanya membara dalam hati.
Ingin hardik di depan para kerbau - kerbau itu!

Tapi tak sanggup!

Ingin keluar dari prodeo,
yang hanya berbuah debu.
Butiran - butiran mutiara berisi kesenduan,
jatuh dari kelopak mataku,
dengan sejuta rasa yang tak terungkapkan.

Tiada daya, masih setengah jalan!

Bisakah aku?
Dapatkah aku?
Mungkinkah aku?
Aku menjadi batu karang?
Walau letih menyelimuti.

Hari demi hari...
Jemu...
Akankah berakhir?





Kamis, 13 Mei 2010

Kisahku

Aku seperti Kancil,Yang dapat berubah menjadi serigala atau rubah.
Aku mendapat sebongkah gunung emas, lidahku selalu mengucap syukur pada-Mu.
Aku mendapat wabah, tak terasa mengucap kata syukur.
Tapi aku jemu mendengar kepakan dan suara gagak – gagak di sekitarku.
Aku membuat rencana, selalu ditepis olehnya.
Batinku tersiksa ketika para pemandu itu berkisah kebobrokan yang di dekatku.
Aku iri melihat 3 merpati.
Dengan kelembutanm sayap dengan.
Aku tahu segala sesuatu tersusun rapi oleh rabbku,
Tapi bagiku, mengapa menjadi rancu.
Aku ingin melampiaskan ini, tapi seolah tertahan dengan semua wabah.
Yang kuderita,Yang kualami,Yang kubenci,
Aku membutuhkan isyraq-Mu.
Aku merasa dalam lingkaran setan yang berujung dalam masa- masa ini.
Ya Rabb, aku ingin menjadi hamba- Mu yang ikhlas dan bersyukur...